Income Tax

Latar Belakang Investasi jalan tol merupakan salah satu sumber penerimaan penting bagi pemerintah untuk dalam hal penerimaan Anggaran Penerimaan Belanja Negara (APBN). Dalam hal ini salah satu perseroan yang melaksanakan pembangunan jalan tol ini ialah PT. Jasa Marga, Tbk. Jenis penerimaan yang didapatkan pemerintah dapat berbentuk pajak, yang berupa PPN konstruksi, PPN pembebasan tanah, PPN kegiatan operasional, PBB jalan tol, Pajak Penghasilan, Pajak perseroan, Dividen Jasa Marga, residual value jalan tol, maupun penerimaan-penerimaan lainnya. Penerimaan pemerintah tersebut dalam jangka pendek dan jangka panjang secara pasti akan mampu memperbaiki debt service coverage ratio pemerintah dan pada gilirannya meningkatkan penerimaan pemerintah. Sebagaimana telah disebut sebelumnya, kontribusi tunai Jasa Marga kepada pemerintah salah satunya adalah kontribusi melalui sektor pajak. Seiring dengan meningkatnya pendapatan dari industri jalan tol maka kontribusi pajak yang dibayarkan PT Jasa Marga (Persero) Tbk kepada pemerintah pun meningkat dari tahun 2007 ke tahun 2008. Pada tahun 2007 beban pajak konsolidasi perusahaan adalah sebesar Rp 122.228.078.000,- yang meningkat pada tahun 2008 menjadi sebesar Rp 223.921.974.000,-. Namun di tahun fiskal 2008, PT. Jasa Marga, Tbk memiliki permasalahan dalam hal Tagihan Pajak. Hal ini dibuktikan dengan adanya Tagihan PPh 21 senilai Rp 8.656.356.000,- untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayat tahun fiskal 2006 sebesar Rp 35.756.056.00,- dengan sanksi administrasi Rp 12.872.180.000,-.[1] Menilik permasalahan tersebut, hal ini mencerminkan adanya ketidakefisiensian dalam sektor perpajakannya. Permasalahan inilah yang menjadi topik utama dalam makalah ini. Sebagai pelaku utama dalam investasi jalan tol bagi pemerintah, PT. Jasa Marga, Tbk seharusnya memiliki manajemen pajak yang lebih baik. Oleh karena itu, penulis dalam makalah ini mencoba menggali bagaimanakah manajemen pajak yang baik bagi PT.