Tetapi sebagai teks, rumusan-rumusan dalam dasar falsafah negara kita ini, selalu terbuka kepada berbagai penafsiran. Itulah yang terjadi dalam sejarahnya. Pada era Demokrasi Terpimpin (1959-1965) yang disebut ?pancasilais? tidak sama dengan penyebutan yang dimaksudkan selama pemerintahan Orde Baru (1967-1998). Para pendiri republik ini yang dipandang paling bertanggung jawab terhadap Pancasila memberikan penafsiran yang relatif berbeda berkenaan dengan sila-sila yang terdapat di dalamnya.
Bung Karno lebih banyak berbicara dalam konteks politik kenegaraan, Mohammad Hatta berusaha menerjemahkannya menjadi sistem ekonomi yang menempatkan kedaulatan rakyat sebagai pilar utamanya. Kedua pemimpin itu setuju bahwa Pancasila sebagai ideology kenegaraan dan dasar sistem ekonomi lebih mendekati ?sosialisme? dibanding ?kapitalisme?. Tetapi sepanjang pemerintahan Orde Baru hingga kini, kapitalismelah yang lebih leluasa mengembangkan sayap dan menguasai kehidupan ekonomi dan sosial budaya masyarakat Indonesia.
Situasi ini mengundang persoalan dan mesti dipikirkan kembali oleh anak bangsa dalam menyongsong masa depan bangsa yang tidak menentu. Begitu pula dalam upaya menempatkan bangsa kita bermartabat dan tehormat di tengah pergaulan bangsa-bangsa lain di dunia.
Sebagaimana teks ideologi atau kenegaraan lain di dunia ini, Pancasila mengandung tiga aspek utama yang merupakan lapisan-lapisan yang secara bersama-sama membentuk rumusannya dan sekaligus mengundang tafsir